Sikembar34 -Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron
thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Itulah yang sering kita lihat pada umat Islam
saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis
dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran
dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan
tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin bangun di
tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan.
Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati
senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun hanya ingin mendapatkan
tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian, mereka bisa termasuk
orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا
يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(16)
“Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud
[11] : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan
melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan
anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka
inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun
semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya
amalan mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan
kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang
mereka cari seutuhnya (sempurna).
Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan
banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki
semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka
peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia
tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang
artinya), “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang
hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia akan
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak akan
memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak menginginkan akhirat.
Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang yang mengharapkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى لَهَا
سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan barangsiapa
yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang
usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’:
19)
Orang-orang seperti ini juga dikatakan:
“lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas
untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan
mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul
Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan
shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya
bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan
lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan
surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya
orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah
mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang
melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan
dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia
cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka
hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang
yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh
Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia
adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka
Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia
tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang
mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah),
dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di
akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk
Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa seseorang beribadah dan beramal hanya
ingin menggapai dunia? Jika seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia
memang akan diberi. Jika shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan
hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan
dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat
merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan amalannya yang
hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan orang yang beramal
dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan
memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ
فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ
فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir –rahimahullah- menafsirkan ayat di
atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan
menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat padanya
karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat
padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700
kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. ...
Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan
menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah beri dan
dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan jika Allah
kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh. Orang seperti ini
hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia
akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul
‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
بشر هذه الأمة بالسناء والرفعة والدين والتمكين
في الأرض فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في الآخرة من نصيب
“Umat ini diberi
kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi.
Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka
di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim
mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam
Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بشر هذه الأمة بالتيسير والسناء والرفعة بالدين
والتمكين في البلاد والنصر فمن عمل منهم بعمل الآخرة للدنيا فليس له في الآخرة من
نصيب
“Umat ini diberi
kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan
di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan
akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di
akhirat. ”
Tanda Seseorang Beramal
Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab
“Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ ، وَالدِّرْهَمِ ،
وَالْقَطِيفَةِ ، وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ
يَرْضَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
“Celakalah hamba
dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika
tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali
binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang
memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik
merah. (I’aanatul Mustafid,
2/93)
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan
pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal
untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah
sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang
beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut
hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk
menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika
diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia
akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang
dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ
فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ
يَسْخَطُونَ
“Dan di antara
mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang
hati, dan jika mereka tidak
diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi
marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya
ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho.
Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan
marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan
saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga
lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia
dengan amalan sholehnya.
Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia
akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena
orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak
menginginkan mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat
tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari
dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka
lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa
harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk
disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa
ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia
boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin
Khottob,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. حَتَّى
أَعْطَانِى مَرَّةً مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ
وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ
نَفْسَكَ ».
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja
pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai
beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan
saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan
ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak
meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di
mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah
hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia
diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang.
Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang
selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika
dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka
dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka
karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah
gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut
hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan
Untuk Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa
macam:
[Pertama] Jika
niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali
tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang
semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu
diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin.
Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah
dan negeri akhirat.
[Kedua] Jika niat
seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia
sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam
ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki
kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika
seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah
semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil
untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan
harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang
mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah
tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena
semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat
untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan
beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk
mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan
yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak
diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat
Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam
ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena
tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud
akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang
disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti
kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ
وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang
untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali
silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini,
namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan
akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun,
jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus,
juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia
adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya
balasan dunia dalam amalan ini.
Perbedaan dan Kesamaan
Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi –rahimahullah-
membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari
dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah
membahas riya’. Kenapa
demikian?
Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia,
keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak
nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain
Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi
(syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar
dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal
untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah
dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di
dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.
Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan
bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’.
Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak
mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh
kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang
membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai
syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari
satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash
Saja dalam Beramal?
Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya
hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan
menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari
dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia
akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini
... !!
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ
غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ
رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ
مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk
menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan
menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan
tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka
Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan
keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan
baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul
Ahwadzi, 7/139)
Marilah –saudaraku-, kita ikhlashkan selalu
niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai
ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan
dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan
engkau raih. Yakinlah hal ini ...!!
Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan
setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada
mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi
wa sallam.
Rujukan:
- Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
- I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
- At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
****
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Disusun di rumah mertua tercinta, Panggang,
Gunung Kidul
Sabtu sore, 22 Rabi’uts Tsani 1430 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar