Tetapi kalau kita renungkan kenapa kalau kita membeli seporsi bakso / soto kita bisa membelinya ???
Padahal Allah menjanjikan kepada orang yang menyisihkan hartanya di jalan Allah akan melipat gandakan menjadi tujuh ratus kali lipat atau bahkan lebih.
jika kita menginfakkan 10 ribu rupiah maka kita akan memperoleh 10.000 x 700 = 7.000.000
bukankah hal ini sesuatu yang luar biasa ???
sebagaimana dalam firman Allah :
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 261)
Tafsir Ayat:
Ini merupakan anjuran
yang agung dari Allah untuk hamba-hambaNya untuk menafkahkan harta
mereka di jalanNya; yaitu jalan yang menyampaikannya kepadaNya. Termasuk
dalam hal ini adalah menafkahkan hartanya dalam meningkatkan ilmu yang
bermanfaat, dalam mengadakan persiapan berjihad di jalan-Nya, dalam
mempersiapkan para tentara maupun membekali mereka, dan dalam segala
macam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kaum muslimin. Kemudian
disusul berinfak kepada orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin, dan
kemungkinan saja dua cara itu dapat disatukan hingga menjadi nafkah
untuk menolong orang-orang yang membutuhkan dan sekaligus bakti sosial
dan ketaatan.
Nafkah-nafkah seperti ini akan dilipat
gandakan. Kelipatan ini dengan tujuh ratus kali lipat hingga berlipat
ganda banyaknya lagi dari itu. Karena itu Allah berfirman, (وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ ) “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”.
Itu tentunya sesuai dengan apa yang ada dalam hati orang yang berinfak
tersebut dari keimanan dan keikhlasan yang tulus, dan juga sesuai dengan
kebaikan dan manfaat yang dihasilkan dari infaknya tersebut, karena
beberapa jalan kebajikan dengan berinfak padanya akan mengakibatkan
manfaat-manfaat yang terus menerus dan kemas-lahatan yang
bermacam-macam, maka balasan itu tentunya sesuai dengan jenis
perbuatannya.
Faidah Ayat:
1. Pemberian permisalan, yang mana hal
tersebut adalah penyerupaan terhadap apa yang di pahami akal dengan
sesuatu yang nampak, karena hal tersebut lebih mendekatkan kepada
pemahaman.
2. Bahwa al-Qur-an mempunyai tata bahasa
dan kefasihan yang sangat tinggi, dan kefasihan adalah kefasihan makna
dan penjelasan, sedangkan memberikan permisalan adalah merupakan bentuk
kefasihan dan penjelasan yang lebih baik, Allah Ta’ala berfirman:
(وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَايَعْقِلُهَآإِلاَ
الْعَالِمُونَ) : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu. (QS. Al-Ankabut :43)
3. Keutamaan berimfaq di jalan Allah Ta’ala, karena apa yang di infaqkan tersebut tumbuh menjadi berlipat ganda, (seperti) satu biji (tanaman) menjadi tujuh ratus biji.
4. Ayat ini mengisyaratkan kepada keikhlas kepada Allah dalam beramal, ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (فِي سَبِيلِ اللهِ) : “Di jalan Allah”, di maksudkan dengan mengharapkan wajah Allah Ta’ala .
5. Ayat ini juga mengisyaratkan agar amal yang di lakukan sesuai dengan aturan syari’at, ini di tunjukan oleh firman Allah Ta’ala: (فِي سَبِيلِ اللهِ) : “Di jalan Allah” ,
kata jalan di sisni bermakna syari’at, jadi makana ayat adalah bahwa
infaq yang di keluarkan tidak keluar dari syari’at Allah, dan infaq yang
sesuai dengan syari’at adalah seperti apa yang di firmankan allah Ta’ala:
(وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ
بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا) : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” . (QS. Al-Furqan :67)
Makna infaq dalam syari’at Allah Ta’ala harus (terpenuhi dua syarat yang pertama -red) ikhlas untuk Allah ‘Azza wa jalla,
dan (yang kedua -red) mengikuti syari’atNya, barangsiapa yang berniat
dengan infaqnya itu selain Allah, maka dia bukan berinfaq di jalan
Allah, seperti orang yang riya, yaitu seorang yang menginfaqkan hartanya
untuk jihad di jalan Allah, atau seorang yang menginfaqkan hartanya
sebagai shadaqah kepada orang-orang miskin, dan amal shaleh lainnya,
namun dari infaq yang ia infaqkan tersebut ia ingin dikatakan sebagai
orang yang dermawan, maka ini semua tidak terhitung di jalan Allah Ta’ala, karena orang yang berbuat riya tidak bermaksud dengan infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia tidak menginginkan jalan yang mengantarkannya kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak memperdulikan apakah infaqnya di terima oleh Allah Ta’ala atau tidak, yang penting baginya adalah dia disanjung dan di katakan oleh manusia bahwa dia orang yang dermawan, dan penyantun.
Adapun syarat yang kedua (mengikuti
syari’at/sesuai tuntunan syari’at), maka dari syarat ini, jika seseorang
berinfaq di jalan yang tidak di ridhai Allah Ta’ala (tidak sesuai tuntunan syari’at -red), maka hal tersebut bukan di jalan AllahTa’ala
walaupun ia ikhlas dalam berinfaq, seperti seseorang yang berinfaq
terhadap hal yang tidak di perbolehkan di dalam agama (bid’ah), yang
mana dia mengharapkan dari infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala,
hal ini banyak kita temukan, seperti membangun tempat beribadah bagi
orang sufi yang menyimpang, atau bagi perayaan maulidan, atau
menerbitkan buku yang mengajarkan kebid’ahan (ajaran baru yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ), ini semua bisa jadi mereka lakukan dengan niat mangharapkan wajah Allah Ta’ala, akan tetapi di karenakan hal tersebut tidak sesuai dengan syari’at maka apa yang mereka lakukan tersebut bukan di jalan Allah Ta’ala.
6. Penetapan hak kepemilikan bagi manusia, ini berdasarka firman Allah Ta’ala: (أَمْوَالَهُمْ): “Harta mereka” , karena penyandaran tersebut menunjukan kepada kepemilikan.
7. Balasan pahala dari Allah jauh lebih
besar dari pada amal perbuatan yang di lakukan si pelaku, karena jika
Allah membalas perbuatan dengan balasan sesuai dengan apa yang di
lakukan maka tentunya balasan yang di dapat sama dengan amal perbuatan
tersebut, akan tetapi Allah membalasnya dengan melebihkan dari kadar
amal tersebut, maka jadi lah satu biji menjadi tujuh ratus biji, bahkan
lebih dari itu, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (وَاللهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) : “Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas
(karuniaNya) lagi Maha Mengetahui” .
8. Penetapan “sifat perbuatan/ sifat
amal” bagi Allah yang mana ini sesuai dengan kehendak Allah, ini
berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (يُضَاعِفُ): “Allah melipat gandakan (ganjaran)” , kata “melipat gandakan” adalah perbuatan.
9. Penetapan keinginan bagi Allah, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (لِمَن يَشَآءُ) : “Kepada siapa yang di kehendakinya” ,
akan tetapi apakah keinginan yang di maksudkan di sini adalah keiginan
murni tanpa ada sebab, ataukah keinginan yang mempunyai sebab yang
terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah? Maka jawabannya adalah
bahwasanya keinginan di sini adalah keinginan yang mempunyai sebab yang
terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah, maka jadikanlah ini sebagai
sebuah qiyas, yaitu setiap apa yang saja yang Allah kaitkan dengan
keinginanNya maka padanya terdapat hikmah, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
(وَمَاتَشَآءُونَ إِلآ أَن يَشَآءَ اللهُ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا) : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Insan: 30)
10. Bahwasanya mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadap citaannya, dan tidak seorangpun yang ikut campur
padanya, ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ) : “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki” .
[Sumber: Tafsir
al-Qur-an al-Karim, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, jilid
3, dan Tafsir as-Sa'di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di,
semoga Allah merahmati keduanya. Diposting oleh Sufiyani Abu Muhammad
Ismail al-Kalimantani]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar