Dharwan, sebuah desa di belahan Yaman, ada yang mengatakan dekat kota
Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh bersama tiga
putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan anggur
yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang
diperolehnya berlimpah.
Tetapi, hasil tersebut bukan semata-mata kepandaiannya mengelola
kebun tersebut, melainkan murni karena karuni dan pertolongan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun
itu ada hak-hak lain yang harus ditunaikannya. Hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan hak sesama manusia yang ada di sekelilingnya.
Seperti biasa, di pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat ke
kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan
perlahan dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai
memeriksa isi kebunnya, dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia
membayangkan alangkah senangnya orang-orang yang fakir dan miskin
menikmati rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.
Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan.
Setelah puas berkeliling, sambil bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya.
Tidak lama kemudian, musim panen pun tiba. Dengan penuh semangat,
orang tua itu berangkat ke kebunnya. Setibanya di kebun yang rindang dan
berbuah lebat itu, dia mulai memetik kurma dan anggur untuk kebutuhan
keluarganya. Adapun sisanya, dia biarkan agar dapat diambil oleh mereka
yang membutuhkan. Tentu saja masih cukup banyak.
Keadaan ini berlanjut sejak dia masih muda hingga dia memasuki usia
renta. Melihat tindakan sang ayah yang selalu menyisakan hasil panennya
untuk orang-orang yang fakir dan miskin dalam jumlah cukup besar,
sebagian putranya menegur, “Ayah, kalau begini terus, kita bisa
bangkrut. Kebutuhan kita semakin bertambah, tetapi ayah biarkan
orang-orang yang fakir dan miskin menikmati hasil panen yang kita
usahakan dengan susah payah.”
Ayah yang shaleh itu menasihati dan mengingatkan mereka bahwa harta
yang ada di tangan mereka saat ini bukan milik mereka, melainkan titipan
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia melihat bagaimana kita berbuat
terhadap harta tersebut. Dua di antara putranya ingin membantah dan
menentang tetapi tidak berani.
Ayah yang baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut,
merekalah yang akan meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia
menceritakan pula bahwa itu semua telah dilakukannya sejak masih muda.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan hasilnya karena dia selalu
berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah panennya semakin bertambah.
Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian sang ayah.
Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang
kekuatannya. Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati
anak-anaknya agar jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada
di tangan kita, tidak murni milik kita atau hak kita. Di situ masih ada
hak yang lain yang wajib kita tunaikan. Ada hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak sesama
manusia yang tidak mampu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerlukan harta yang di titipkan-Nya
kepada kita. Berapa pun yang kita zakatkan atau sedekahkan, itu tidak
memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan tetapi keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada
kita yang dititipi harta tersebut.
Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang shaleh itu meninggal dunia.
Ketiga anak laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh
ayah yang mereka hormati dan mereka cintai. Tetapi, itu tidak lama.
Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka.
Masing-masing telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan
oleh ayah mereka.
Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan
selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka
mulai membahas sikap ayah mereka yang menurut -sebagian- mereka salah.
“Mulai musim panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang
miskin itu ikut mengambil bagian. Keberadaan dan keikutsertaan mereka
hanya mengurangi perolehan kita. Padahal kebutuhan kita semakin
meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan disepakati
oleh salah seorang di antara mereka.
Adapun yang ketiga, sejak tadi mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara.
“Lupakah kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat?
Kebun ini beliau kelola dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda
seperti kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang menyuburkannya, sebagai
karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri nikmat tersebut.
Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah meninggal
dunia.”
“Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami
tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati
hasil keringat kami,” kata yang satunya.
Yang lain menyambung, “Kami akan berangkat ke kebun sejak dini hari,
sebelum orang-orang yang miskin itu ikut bangun dan menyusul ke kebun
kami.”
Itulah rencana mereka.
Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang shaleh itu
sudah bersiap sejak dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus
sudah tiba di kebun dan segera memetik hasil kebun mereka. Sambil
bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan sampai ada orang-orang
yang miskin yang masuk ke kebun mereka.
“Kita akan ke kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka.
Saudara mereka mengingatkan, “Ucapkanlah insya Allah.”
Tetapi, mereka tidak mengacuhkannya.
Mereka berjalan dengan terburu-buru dan melihat-lihat apakah ada yang mengetahui keadaan mereka?
Tiba-tiba. Mereka terperanjat luar biasa.
“Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan kebun kita. Bukankah
kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?” kata
salah seorang dari mereka.
Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati mereka berkata,
“Itu memang kebun warisan ayah kita. Tetapi, kalian dihalangi memperoleh
hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala?”
Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu memang kebun
mereka. Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi balasan atas
niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin
memperoleh jatah mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.
Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah
terjadi. Kebun mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka
gagal menikmati apa yang ingin mereka nikmati.
Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih dahsyat?
“Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri.
Alangkah celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kami ganti yang lebih
baik. Sungguh, kami benar-benar berharap kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.”
Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang datang
terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia
dan bisa diperbaiki. Seperti yang mereka alami.
Catatan:
Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah diabadikan di dalam
Al-Qur’an surah al-Qalam ayat 17-33. Menurut berita yang dinukil dari
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, mereka adalah sebagian dari orang-orang
ahli kitab. Wallahu a’lam.
Sumber: Kisah ini diambil dari artikel “Para Petani
dan Tuan-Tuan Kebun” karya Al-Ustadz Abu Muhammad Harits dalam majalah
Asy Syariah no. 89/VII/1434 H/2012, hal. 75-77.
Disalin dari : http://fadhlihsan.blogspot.com/2013/01/kisah-petani-shaleh-anak-anaknya-yang.html
Dipublikasikan kembali oleh : www.KisahIslam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar