Aku menikah muda. Kala itu, usiaku tak lebih dari 19 tahun dan baru
saja lulus SMU. Wanita yang kuperisteri saat itu bahkan baru 16 tahun.
Ia hanya lulus SLTP, karena keluarganya pun seperti keluargaku, miskin,
tak punya cukup biaya untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi.
Namaku Arman, dan isteriku Salimah. Kami tinggal di sebuah dusun, yang termasuk wilayah sebuah desa kecil, di sisi barat Jawa.
Di desa kami, usia seperti kami bukanlah usia muda untuk menikah,
minimal untuk ukuran pada masa itu. Pada zaman sekarang, ukuran itu
memang sudah mengalami dinamika. Makin sedikit saja pasangan muda yang
menikah. Berbanding lurus dengan makin banyak pula wanita-wanita yang
telat menikah. Meski jumlahnya tak sebanyak di kota-kota besar.
Kami menjalani pernikahan dengan segala suka duka yang kami alami.
Latar belakang kami dari keluarga yang cukup religious, meski
tradisional. Dalam arti, kami masih terbiasa hidup dalam nuansa yang
menggabungkan nilai-nilai religi Islam, dengan adat tradisional. Orang
Sumatra menyebut kami dari kalangan kaum tua.
Aku kurang begitu mengerti soal itu. Meski setelah beberapa tahun
menikah, aku mulai sedikit mendalami agama melalui beberapa orang
ustadz, di musholla dekat rumah. Lewat mereka, aku mulai dikenalkan
dengan upaya banyak ulama untuk menjernihkan agama dari pengaruh bid’ah
dan khurofat. Aku sangat memahami paparan-paparan mereka. Tapi, tentu
sulit bagi keluarga kami, untuk meninggalkan berbagai tradisi nenek
moyang yang sudah lama kami jalankan. Meski kami tahu, sebagian di
antaranya berbau kemusyrikan. Wal ‘iyyaadzu billah.
Kedua orang tuaku, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kami
di desa yang sama, juga mengikuti perkembangan tersebut. Mereka juga
sepertiku, sulit meninggalkan tradisi lama kami. Tapi, minimal aku
mengerti, bahwa mereka tidak lagi apatis terhadap pemahaman-pemahaman
seperti yang disampaikan oleh para ustadz secara bergiliran, di musholla
kami itu. Meski kecil, tapi cukup membanggakan, karena setidaknya ada 2
taklim dalam sepekan.
Selain dua majelis itu, kadang beberapa ustadz senior di desa kami
yang berpemahaman kaum tua, juga ikut mengisi. Wajarlah, bila akhirnya
sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan jama’ah yang hadir. Pro
dan kontra.
Aku tidak akan berbicara banyak soal itu. Aku hanya ingin
menceritakan kepada pembaca, tentang perjalanan hidup rumah tangga kami.
***
Tak terasa, sudah 10 tahun kami berumah tangga. Umurku kini menginjak 30
tahun, sementara isteriku 26 tahun. Kami sudah dianugerahi 3 orang
anak. Yang sulung sudah 9 tahun.
Selama satu dasawarsa tersebut, di antara kami sudah terjalin saling
pengertian yang cukup manis. Setidaknya, begitulah dalam pandangan kami.
Mengingat banyak teman yang menikah di rentang usia mirip dengan kami,
tapi rumah tangganya terbilang kacau balau. Sering mengalami percekcokan
yang nyaris tak berujung. Bahkan tak sedikit yang akhirnya bercerai,
hanya setelah 3 atau 4 tahun menikah.
Kegamangan pertama rumah tangga kami, terjadi beberapa bulan lalu,
saat hamper masuk tahun ke sebelas pernikahan. Ibunda Salimah, yang
sangat dicintai dan mencintai isteriku meninggal dunia. Usianya baru 48
tahun. Beliau wafat karena penyakit paru-paru yang tak kunjung sembuh.
Dan kami memang tak punya cukup uang untuk melakukan perobatan secara
rutin dan memadai. Meski bagaimanapun, semua itu sudah taqdir, dan kami
tabah menerimanya.
Walau begitu, isteriku tetap dilanda kesedihan sedemikian rupa. Meski
tak menimbulkan prahara dalam rumah tangga, tapi sontak ia berubah
menjadi pendiam. Di antara 6 bersaudara –yang kesemuanya sudah menikah
dan punya anak-, ia memang yang paling disayang sang ibu. Karena sangat
disayang itulah, isteriku menjadi anak yang paling terpukul oleh
meninggalnya beliau, berbeda dengan saudara lainnya, yang meskipun
bersedih, namun tak terlihat mengalami kegoncangan berarti.
Kesedihan bertambah, saat aku diberhentikan dari perusahaanku. Di
situ, aku memang hanya bekerja sebagai satpam. Tanpa aku tahu sebabnya,
ada pengurangan jumlah tenaga sekuriti, dan aku termasuk yang di-PHK.
Alasan mereka, sebagian besar satpam yang ada adalah veteran tentara.
Mereka lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding diriku.
Yah, apa mau dikata. Aku menjadi satpam memang hanya bermodal sabuk
hitam karate yang kumiliki. Ijazah relative tak dibutuhkan untuk
pekerjaan itu. Akhirnya, aku menganggur beberapa bulan. Namun,
Alhamdulillah, aku kembali diterima sebagai sekuriti di perusahaan lain
yang lebih kecil, dengan gaji yang tentunya juga lebih sedikit. Tapi aku
menerimanya dengan senang hati.
Kedukaan, ditambah dengan kondisi perekonomian keluarga yang semakin
surut, membuat rumah tangga kami mengalami masa-masa kritis.
Keramahtamahan dan keakraban kami ulai berkurang. Meski, kami bukan
tipikal suami isteri yang senang bertengkar. Nyaris tak pernah terjadi
percekcokan di antara kami, kecuali dengan hanya ‘marah-marahan’ kecil
saja.
Saat itu, aku semakin rajin mengikuti taklim pekanan, terutama hari
selasa malam. Isteriku juga ikut serta, bersama banyak warga kampong
yang memenuhi musholla kecil itu.
Kajian malam itu membahas tentang keluarga sakinah. Suatu saat,
pembahasan menyentuh soal poligami. Aku dan isteriku, cukup terperanjat.
Baru saat itu, kami memahami bahwa poligami dalam Islam ternyata begitu
kompleks pembahasannya. Selama ini aku hanya mengetahui bahwa pria
muslim diperbolehkan melakukan poligami, dengan syarat mampu berlaku
adil. Ternyata, hukum poligami juga beragam, tergantung pada situasi,
kondisi –baik pribadi maupun orang lain yang ikut terlibat dalam praktik
poligami tersebut-, dan banyak hal lainnya.
Di situ, Ustadz MZ juga menjelaskan bahwa banyak orang yang melakukan
poligami, tanpa mengikuti aturan, adab, dan etika berpoligami yang ada
dalam Islam, sehingga justru menimbulkan citra buruk di masyarakat. Aku
terperangah. Ya, tak sedikit kenyataan seperti itu, yang juga aku
saksikan pada banyak pelaku poligami.
Padahal, secara umum poligami itu dibenarkan syari’at, meski hokum
asalnya adalah mubah dengan syarat. Jadi diperbolehkan saja, tak sampai
dianjurkan. Namun bisa berbeda-beda hukumnya, tergantung bagi siapa dan
dalam kondisi bagaimana.
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin menjelaskan,
“Poligami disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya dan bertujuan
untuk menjaga kemaluannya serta pandangan matanya dari maksiat, selain
juga untuk memperbanyak keturunan dan untuk memotivasi masyarakat Islam
agar melakukan perbuatan serupa –dengan tujuan-tujuan yang sama-,
sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan perbuatan yang diharamkan
oleh Alloh. Mereka bisa menggunakan poligami untuk memperbanyak generasi
Islam dan memperbanyak orang-orang yang beribadah kepada Alloh di muka
bumi, atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.
Dalilnya adalah firman Alloh (artinya),
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita alin yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” {QS. An-Nisaa’:3}
Demikian juga firman Alloh (artinya),
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan..” {QS. Al-Ahzaab: 21}
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam sendiri
memiliki beberapa orang isteri, dan beliau selalu bersikap adil di
antara mereka. Beliau pernah berkata,
“Yaa Alloh, inilah yang bisa kulakukan, maka janganlah Engkau mencelaku
karena sesuatu yang tidak mampu kulakukan.” Dikeluarkan oleh ashhaabus
sunan denga sanad yang shohih. MAksudnya, bahwa sikap adil itu wajib
sebatas yang mampu dilakukan oleh manusia, seperti memberi nafkah,
mengatur giliran bermalam dan sejenisnya. Adapun cinta kasih dan
‘hubungan seks’, bukanlah sesuatu yang berada dalam kemampuan manusia
untuk menciptakannya.
Sesampainya di rumah, aku dan isteriku mendiskusikan kembali soal
poligami tersebut. Aneh, isteriku juga menanggapinya tidak dengan
dingin, bahkan seringkali ditimpali canda tawa. Biasanya, umumnya wanita
tak tertarik membahas poligami. Karena biasanya juga, ketika
membayangkan suaminya akan memadu dirinya, sudut pandangnya pada
poligami otomatis jadi tidak jelas, cenderung berbaur sinisme. Bahkan
ada yang sontak memarahi suaminya, hanya karena secara tak sengaja
menyinggung-nyinggung topik poligami. Meski belum terbersit keinginan
untuk melakukannya!
Hingga larut malam, kami sibuk membahas soal-soal poligami, yang bagi
kami menarik, dan banyak hal yang tak kami ketahui sebelumnya tentang
topik ini.
“Kalau aku dipoligami, gimana ya?” tiba-tiba isteriku berkata begitu. Aku terperangah.
Aku sendiri, tak pernah berpikir soal poligami. Apalagi, kondisi
perekonomian kami yang seperti ini, membuatku tahu diri untuk sekedar
memampirkan topik poligami ke dalam benakku.
“Wah, memangnya kamu mau?”
“Gak tahu ya. Aku hanya membayangkan, kalau aku hidup bersama suami
dan maduku , gimana ya?” Ia mengatakan itu, sambil tersenyum lebar. Aku
jadi ikut geli melihatnya.
Lewat tengah malam, pembicaraan kami terhenti. Dan setelah itu –aneh
sekali- hubungan kami menjadi cair lagi. Seolah-olah kedukaan yang
merambati hati isteriku dalam beberapa bulan ini, pupus sama sekali.
Hari-hari selanjutnya, kembali kami lalui dengan suasana bahagia. Betapa
sejuk dada ini.
*****
2 bulan setelah itu, ada hal yang mengejutkan buat kami. Isteriku,
didatangi tamu seorang wanita berusia 34 tahun. Berarti empat tahun
lebih tua dariku, dan 8 tahun lebih tua dari isteriku.
Ia juga sudah beberapa bulan mengikuti pengajian di musholla kami. Ia
berasal dari desa sebelah, hanya 1 kilometer dari rumah kami. Isteriku
juga sudah sering berjumpa dengannya di pengajian. Ia dating dengan
hijab sempurna (setidaknya menurut ukuranku). Ukuran jilbabnya lebih
lebar dari jilbab isteriku.
Selama hampir dua jam, ia berada di kamar bersama isteriku. Mereka
terlibat obrolan panjang, yang kadang diselingi dengan tawa ringan.
Terlihat betul keakraban mereka. Padahal setahuku mereka belum lama
saling mengenal. Bahkan ini pertama kalinya wanita itu dating ke
rumahku. Isteriku sendiri, meskipun supel, tapi tak pernah begitu mudah
mudah menjadi akrab dan berbicara begitu lepas seperti saat ini.
Di luar, di ruang tamu, aku duduk sendirian sambil membaca buku. Tak
lama, wanita itu keluar. Ia menghadap ke arahku yang berada di pojok
ruangan, di atas kursi, dengan membentuk kedua tangan bersalaman dari
jauh.
“Saya pamit pulang dulu, Mas Arman…” Ujarnya lembut.
“O ya, ya, silahkan…”
Sepulang wanita tersebut, isteriku berhambur ke ruang tamu. Ada senyum tersungging di wajahnya.
“Kenapa, kok senyum-senyum gitu. Menang arisan ya?”
“Enggak, kok mas. Lagi senang aja…”
“Senang kenapa?”
“Mas, kamu saying sama aku gak?”
“Loh, kok pake nanya kayak gitu. Ya saying dong.”
“Begini. Tapi janji, mas jangan marah ya?”
“Ada apa dulu?”
“Pokoknya janji dulu, gak marah, baru aku ngomong.”
“Oke, aku janji.”
“Begini, mas. Menyambung obrolan kita malam itu…”
Hatiku tiba-tiba merasa aneh.
“Sepertinya, aku mau mewujudkan apa yang aku bilang waktu itu…”
“Maksudmu?”
“Bagaimana, kalau mas menikahi mbak Ratna yang tadi bertamu ke sini?”
Dadaku kini berdegup.
“Dia masih gadis dan perawan, Mas. Sampai sekarang belum menikah.
Wajahnya lumayan cantik kan, Mas, gak kalah denganku? Aku mau, Mas
menikahinya untukku…”
“Maksudmu..”
“Ya. Aku mau, Mas berpoligami. Tapi bukan dengan wanita lain, dengan
mbak Ratna itu. Aku merasa cocok dengannya, Mas. Aku juga ingin
membantunya, kasihan dia gak nikah-nikah seusia itu. Padahal, yang mau
sama dia banyak. Tapi, tadi dia bilang, dia mau kalau yang menikahinya
adalah Mas…”
Mataku berkunang-kunang. Perasaanku campur aduk. Aku kehilangan kata
untuk menjawab tawaran isteriku yang begitu tiba-tiba, dan sama sekali
tak pernah terpikir olehku.
“Jangan khawatir, Aku rela kok, dia menjadi maduku, Mas.”
“Kenapa dia mau aku nikahi?” Kini aku balik bertanya.
“Gak tahu juga, Mas. Tapi yang jelas, saat melihatmu keluar bersamaku
dari pengajian, dia kok merasa tertarik ingin menjadi isteri Mas.
Makanya, ia memberanikan diri berbicara denganku tadi…”
“Tapi, aku belum pantas berpoligami, Adinda…”
“Justru karena Mas berpendapat begitu, aku malah bersuka hati
menawari Mas untuk berpoligami. Kalau Mas begitu getol ingin kawin lagi,
aku malah jadi khawatir..”
Wah, aneh. Tak terpikir sedikitpun, kalau aku akan terjebak dalam
suasana begini. Isteri yang kucintai, dan selalu hidup bersamaku dalam
susah dan senang, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba memintaku untuk
berpoligami.
“Tapi, lihat saja, ekonomi kita sedang begini. Dalam kondisi baik
saja, kita hidup miskin dan kekurangan. Bagaimana mungkin aku beristeri
lebih dari satu? Kamu ini aneh, Adinda..”
“Ah, soal itu gak perlu khawatir, Mas. Kami tadi sudah
mengobrolkannya. Kebetulan, mbak Ratna ini juga lumayan berkecukupan. Ia
sudah memiliki rumah sendiri, sudah punya mobil meskipun sederhana, Ia
juga punya mini market loh…”
Isteriku berbicara panjang lebar soal Ratna, dan aku hanya
mendengarkan dengan patuh. Aku tak bisa berkata-kata. Sulit menjabarkan
suasana hatiku saat itu. Karena yang berbicara adalah isteriku. Kalau
orang lain, mungkin aku tak ambil peduli sama sekali.
“Kalau mau menikahinya, Mas diminta untuk mengelola mini market miliknya, untuk sumber penghasilan bersama…”
“Tapi jangan salah sangka, Mas. Aku mau Mas menikahinya, bukan karena
dia kaya. Tapi aku justru ingin menolongnya. Kasihan, sudah usia 34
tahun, tapi ia belum juga menikah. Tapi, karena kondisinya demikian,
bagiku akan lebih mudah merealisasikannya…”
Sampai di situ, aku masih terbungkam. Ketika isteriku menanyakan
pendapatku, aku hanya bilang, agar ia menunggu hingga esok hari, karena
aku betul-betul kebingungan. Bukan aku tak tertarik dengan Ratna.
Apalagi, bila menikahinya justru atas permintaan isteri sendiri. Tapi,
aku memang betul-betul blank saat itu.
Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Jam tiga dini hari, aku
bangkit dari pembaringan, dan melakukan sholat malam. Aku berdo’a,
memohon pilihan kepada Alloh. Satu malam itu, aku tak tidur sama sekali.
Pagi harinya, aku mengajak isteriku ke rumah orang tuaku, dan juga
menemui bapak isteriku. Kepada mereka, aku menceritakan permintaan
isteriku itu. Tanpa diduga sama sekali, mereka semua setuju. Akhirnya,
dengan ringan hati, aku pun menerima tawaran isteriku tersebut…
*****
Aku pun kini beristeri dua. Aku berpoligami, di saat aku betul-betul tak
menginginkannya, bahkan tak pernah memikirkan sebelumnya. Setelah
menikahi Ratna, aku baru tahu bahwa ternyata keberadaan isteri keduaku
itu menjadi obat buat isteriku, atas kematian ibundanya. Satu hal yang
tak pernah kubayangkan pula sebelumnya.
Bagi isteriku, Ratna bisa menjadi teman mengobrol, kawan curhat, dan
berbagi kasih, seperti yang biasa ia lakukan bersama ibunya. Ratna bisa
menjadi pengganti ibunya, dalam dimensi yang sama sekali berbeda
tentunya, namun memberikan suntikan rasa yang sama: senang dan bahagia.
Semenjak kami berpoligami, kehidupan rumah tangga kami justru semakin
semarak, meriah, dan penuh keceriaan. Isteriku sekarang bahkan terlihat
jauh lebih berbahagia, ketimbang saat-saat kami masih hidup berdua,
sebelum ibunya wafat. Sering kami berpergian bersama, mengunjungi karib
kerabat dari pihakku, pihak Salimah, atau pihak Ratna.
Aku tak lagi bekerja sebagai satpam. Aku sibuk mengurus bisnis
keluarga yang Alhamdulillah berjalan dengan baik. Aku tak tahu, apa lagi
yang bisa aku ungkapkan kepada pembaca sekalian. Yang jelas, aku tak
bisa menyarankan siapapun untuk mengambil langkah, seperti yang aku
lakukan. Karena bisa jadi, kondisi kita tak sama, atau bahkan jauh
berbeda. Tapi yang jelas, POLIGAMI telah menjadi salah satu sumber
kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga kami. Terserah, anda setuju
atau tidak….
Sumber: Diketik ulang oleh al Akh Abu Abdillah Huda dari dari buku “Aku Wanita Yang Dipoligami”, Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar