Sikembar34 - Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti
sunnahnya dan menjadikan ajarannya sebagai petunjuk sampai hari
kiamat.
Sejarah Islam, baik yang dulu maupun sekarang senantiasa
menceritakan kepada kita, contoh-contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan
petunjuk, mereka memiliki semangat yang begitu tinggi dalam mencari agama yang
benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik
mereka yang berharga, sehingga mereka dijadikan permisalan, dan sebagai bukti
bagi Allah atas makhluk-Nya.
Sesungguhnya siapa saja yang bersegera
mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah Ta’ala, pasti Dia Azza
wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan dapat dianugerahkan
kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu kenikmati Islam. Semoga Allah
merahmati Syaikh kami Al-Albani yang sering mengulang-ngulangi
perkataan.
“Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan
As-Sunnah”.
Diantara kalimat mutiara ulama salaf
adalah.:
“Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda
adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia
membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.
Saya bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan-Nya”.
Inilah kalimat tauhid, kalimat yang
baik dan kunci surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari jalan panjang yang
penuh dengan onak dan duri, kalimat taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi
seseorang insan yang ingin menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian
juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena,
ketika seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka
dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan seizin
Allah Ta’ala.
Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial)
–semoga Allah memerliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta
menutup lembaran hidupnya diatas Islam-
Inilah dia yang akan menceritakan
kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nasrani) menuju Islam,
dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta kemewahan hidupnya,
di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan akal dan
jiwa.
Ibrahim (dulu bernama Danial) –semoga Allah memeliharanya, dan
mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan :
Saya adalah
seorang lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa
kecil, saya hidup dengan kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa
kecilku. Ketika masa remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan
bersama teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang,
sehingga saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah
kekurangan.
Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam
kehidupan ini ada yang kurang, dan saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di
dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana
kehidupan ini bukanlah tujuanku.
Saya mulai tertarik dengan agama, dan
mulailah kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca
buku-buku agama Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan
sebagian jawaban atas berbagai pertanyaannku, akan tetapi tetap saja belum
sempurna
Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya
merenungi laut sambil membaca buku-buku dan shalat Setelah dua bulan dari
permulaan hidupku ini, saya merasa mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus
menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama. Ketika itu, saya mendatangi
ayahku dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja
dengannya, saya juga pergi mendatangi ibu dan saudara-saudariku dan kukabarkan
kepada mereka bahwa saya telah mengambil keputusan untuk meninggalkan
mereka
Kemudian kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana
saya hendak pergi, hingga saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke Ad-Dir
[1] disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di gunung selama
kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya membaca dan
beribadah.
Sekitar tiga tahun, saya senantiasa berpindah-pindah dari satu
Ad-Dir ke Ad-Dir yang lain, saya membaca dan beribadah, kebalikannya para
pendeta yang tidak bisa meninggalkan Ad-Dir mereka, karena saya tidak pernah
memberikan janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu Ad-Dir tertentu, dan
janji tersebut akan menghalangiku untuk keluar masuk darinya.
Setelah
itu, saya memutuskan untuk berkelilng ke berbagai negeri, maka saya memulai
perjalanan panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania,
Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini
saya tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya
sudah pernah mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan
tetapi kali ini sangat terkesan, sehingga saya mencintai
Dalam perjalanan
pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan
Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang
Islam versi Syi’ah. Keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak
menjelaskan kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka memfokuskan
pada ajaran Syi’ah dan Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu, serta tentang penantian
mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan
manusia.
Semua diskusi tersebut sama sekali tidak menarik perhatianku,
dan saya belum mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam rangka
mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk
mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa dipungut biaya,
akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan kutinggalkan
mereka.
Kemudian saya menuju India, dan ketika saya turun dari kereta,
pertama yang kulihat adalah manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali
dengan berlari-lari kecil menuju kedalam kota, maka kuikuti mereka dan saya
melihat mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang tebuat dari emas, ketika
itu saya sadar bahwa India bukanlah tempat yang kucari.
Setelah itu, saya
kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja
saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India, akan
tetapi Allah telah menyelamatkanku, Alhamdulillah.
Saya keluar dari rumah
sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah yang akan
saya ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk terus
dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke Ad-Dir dan mulailah
kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah Ad-Dir di Roma. Pada waktu itu saya
telah diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan kalimat dan
janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan harinya saya
memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan Ad-Dir
tersebut.
Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari
Ad-Dir, setelah itu saya menuju Al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya.
Maka mulailah saya berpergian menuju Al-Quds melalui jalur darat melewati
berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman dan Al-Quds,
saya tinggal disana seminggu, kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah
pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.
Pada
kesempatan ini, saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya,
maka saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel.
Pada tahap ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki
yang Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah
berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan
jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan
buku-buku tentang Injil dan Taurat.
Pada saat itu, saya teringat suara
adzan yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri serta
pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini,
maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah
ku-kumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah
terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika
berkeliling ke berbagai negeri.
Setelah kutelaah buku-buku tersebut, saya
berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami oleh mayoritas orang-orang
barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan teroris. Akan tetapi yang saya
dapati adalah Islam itu agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat
dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil.
Kemudian saya putuskan untuk
kembali ke Al-Quds, karena saya yakin bahwa Al-Quds adalah tempat turunnya
kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat terbang dari
Italia menuju Al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta dan peziarah
dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di dalam tasku, saya
tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian, terjemahan Al-Qur’an, Injil dan
Taurat, kemudian saya mulai membaca lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi,
saya membandingkan kandungan Al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga
saya berkesimpulan bahwa kandungan Al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan
Isa ‘Alaihis salam yang asli
Selanjutnya saya mulai berdialog dengan kaum
muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam, sampai akhirnya saya
bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami berbincang-bincang
tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan
kepada saya tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa
dia akan mengadakan suatu pertemuan antara saya dengan salah seorang da’i dari
teman-temannya para da’i.
Pertemuan itu berlangsung dengan saudara yang
mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilan perbincangan yang bagus tentang agama
Islam. Diantara perkara yang paling mempengaruhiku adalah kisah sahabat yang
mulia, Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, karena didalamnya ada kemiripan
dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.
Kami berkumpul lagi
dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya,
diantaranya Fadhilatusy Syaikh Hisyam Al-Arif Hafidhohullah, maka berlangsunglah
dialog tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki
beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.
Setalah itu, saya
terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan
jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaannku. Pada saat seperti itu di depan
saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya, dan saya
sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah saya meyakini bahwa
Islam adalah jalan yang benar.
Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa
waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah tiba. Ternyata
tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu dikumandangkannya
adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada
pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan.
“Asyhadu An Laa Ilaha Illallahu
Wa Anna Muhammadan Rasulullah”
Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan-Nya.
Maka serta merta saudara Amjad memeluku dengan pelukan
yang ramah, seraya memberikan ucapan selamat atas ke-Islamanku, kemudian kami
sujud syukur sebagaimana ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat
ini. Kemudian saya diminta mandi [2] dan berangkat ke Masjid Al-Aqsho untuk
menunaikan shalat dhuhur.
Di tempat tersebut setelah shalat, saya menemui
jama’ah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah
Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui bahwa siapa saja yang masuk
Islam wajib baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah milik Allah, saya
tunaikan kewajiban berkhitan tersebut sebagai bentuk meneladani bepaknya para
nabi, yaitu Ibrahim Alaihis sallam yang melakukan khitan pada usia 80
tahun.[3]
Itulah diriku, saya telah memulai hidup baru dibawah naungan
agama kebenaran, agama yang penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya
senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah Ta’ala dan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini,
dari kalangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum beserta siapa saja yang mengikuti
mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Segala puji bagi Allah atas
anugerah Islam dan As-Sunnah. Oleh Amjad bin Imron Salhub
[Dialihbahasakan oleh Abu Zahro Imam
Wahyudi Lc dari majalah Ad-Da’wah As-Salafiyah – Palestina edisi Perdana,
Muharram 1427H halaman 21-24]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah
Al-Islamiyyah Vol 5 No 3 Edisi 27 - Shafar 1428H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad
Surabaya, Alamat Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
__________
Foote
Note
[1]. Ad-Dir = Istilah untuk gereja yang terpencil di pedalaman.
[2].
Sebagaimana hadits Qoish bin Ashim, beliau menceritakan : “ Ketika beliau masuk
Islam. Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara”
[HR An-Nasari, At-Tummudzi dan Abu Daud. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Al-Irwa no. 128]
[3]. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “Al-Qoduum” (nama alat
atau tempat)” [HR Al-Bukhari 3356 dan Muslim 2370]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar